JUDUL : SEBAB DAN DAMPAK KRISIS MONETER DI INDONESIA. SERTA PERAN IMF
I.
Pendahuluan
Krisis Moneter
adalah krisis finansial yang dimulai pada Juli 1997 karna menurunnya nilai
tukar rupiah secara tajam terhadap valuta asing, diukur dengan dolar Amerika
serikat yang merupakan pencetus/trigger point. Krisis moneter ini berlangsung kurang lebih selama 2 tahun dan
berubah dampaknya menjadi krisis ekonomi. Krisis ekonomi ini mempengaruhi mata uang, bursa saham dan
harga aset lainnya di beberapa negara Asia. sebagian Macan Asia Timur.
Peristiwa ini sering disebut krisis moneter “krismon”.
Di Indonesia, Korea Selatan, dan
Thailand adalah negara yang paling parah terkena dampak krisis Moneter ini.
Hongkong, Malaysia, dan Filiphina juga terpengaruh. Daratan Tiongkok, Taiwan dan Singapura hampir tidak terpengaruh. Jepang juga tidak terpengaruh banyak tapi mengalami kesulitan
ekonomi jangka panjang. Dampak krisis moneter atau krisis ekonomi ini sangat
besar pengaruhnya bagi Indonesia dan Negara-negara lain, penyebab – penyebab
nya pun bukan hanya karna merosotnya nilai tukar rupiah saja tetapi ada juga
beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi berkepanjangan nya krisis moneter
ini.
Jadi penulis sengaja mengambil tema
ini karena dapat menambah informasi untuk semua tentang sebagian masalah yang
ada saat krisis ekonomi di Indonesia. Semoga bermanfaat untuk semuanya….
II.
ISI
Krisis moneter yang melanda Indonesia
sejak awal Juli 1997, sementara ini telah berlangsung hampir dua tahun dan
telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena
semakin banyak perusahaan yang tutup. Oleh sebab itu mulai meningkatnya jumlah
pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena
terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai
musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi
seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang
dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara
besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota
pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya.
Krisis moneter ini terjadi, meskipun
fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan
disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab 2 dan Hollinger). Yang
dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah,
neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca
berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa
masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit
surplus. Lihat Tabel. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural
seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor
yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang
bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak pastian
sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim perbankan
yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang sebagian
besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis
kepercayaan. (Bandingkan juga IMF, 1997: 1). Namun semua kelemahan ini masih
mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak
datang badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan
yang ada, yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan
gelombang yang datang mengancam.
Dampak dari krisis moneter ini, Bank
Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah
terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan membiarkannya berfluktuasi
secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed floating yang dianut
pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank Indonesia tidak
lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar
rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar
rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per
dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian
berhasil menguat kembali menjadi sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.
- Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya
Penyebab dari krisis ini bukanlah
fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah, hal ini dapat dilihat dari
data-data statistik di atas, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri
yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam
negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang
mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya 1 . Krisis yang
berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat
tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap
dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah
besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat
banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan
mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi
mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah,
maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat
untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari
berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis
dari faktor-faktor penyebab ini penting, karena penyembuhannya tentunya
tergantung dari ketepatan diagnosa.
Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan
utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai
akar dari terjadinya krisis finansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat adanya
empat sebab utama yang bersamasama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan
(World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang pertama adalah akumulasi utang swasta
luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari
total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh
tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir utang
luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan
pada sistim perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan
pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi
krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial
dengan cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian politik menghadapi Pemilu
yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.
Sementara menurut penilaian penulis,
penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan
faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi
pandang masing-masing pengamat tentang krisis moneter ini.
Berikut ini diberikan
rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
- Indonesia menganut sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang sebesarbesarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening valas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri.
- Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah yang overvalued dapat berakibatnya harga barang impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang nyata.
- Permasalahan awalnya yaitu utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya, ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt).
Ada tiga pihak yang bersalah di sini,
pemerintah, kreditur dan debitur.
Ø Kesalahan pemerintah adalah : karena
telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai
rupiah terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga
pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing
menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan
tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau
mendepositokan dananya dalam rupiah. Jadi di sini pemerintah dihadapi dengan
buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan pengusaha selama tidak terjadi
devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun sehingga memberi rasa aman dan
orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin besar. Dengan
demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh pemerintah.
Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap
utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek
pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN.
Ø Bagi debitur dalam negeri, terjadinya
utang swasta luar negeri dalam jumlah besar ini, di samping lebih
menguntungkan, juga disebabkan suatu gejala yang dalam teori ekonomi dikenal
sebagai fallacy of thinking2 , di mana pengusaha beramai-ramai melakukan
investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah jenuh, karena
masing-masing pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak
memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya.
Ø Pihak kreditur luar negeri juga ikut
bersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi pinjaman dan salah
mengantisipasi keadaan (bandingkan IMF, 1998: 5). Jadi sudah sewajarnya, jika
kreditur luar negeri juga ikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita
oleh debitur.
Kalau
masalahnya hanya menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, meskipun
masalahnya juga cukup berat karena selama bertahun-tahun telah terjadi net
capital outflow3 yang kian lama kian membesar berupa pembayaran cicilan utang
pokok dan bunga, namun masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan
modal luar negeri dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta,
pinjaman luar negeri pemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu
pembayaran, tingkat bunganya relatif rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan
pinjaman baru.
Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge (Nasution: 12). Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri , misalnya bank-bank. Maka beban pembayaran utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambah besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang melemah. Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan menyulitkan pembayaran kembalinya.
Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge (Nasution: 12). Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri , misalnya bank-bank. Maka beban pembayaran utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambah besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang melemah. Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan menyulitkan pembayaran kembalinya.
Pinjaman
luar negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan, banyak yang
dikelola secara tidak prudent, yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan
untuk proyek-proyek pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan
sehingga jauh melampaui daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak
kembali. Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif besar yang
dilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi yang
tidak menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti
pembangunan hotel, resort pariwisata, taman hiburan, taman industri, shopping
malls dan realestat. Proyek-proyek besar ini umumnya tidak menghasilkan
barang-barang ekspor dan mengandalkan pasar dalam negeri, maka sedikit sekali
pemasukan devisa yang bisa diandalkan untuk membayar kembali utang luar negeri.
Krugman melihat bahwa para financial intermediaries juga berperan di Thailand
dan Korea Selatan dengan moral nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari
krisis di Asia Timur. Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi
sehingga terjadi investasi berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998;
Greenwood). Mereka mulai mencari dollar AS untuk membayar utang jangka pendek
dan membeli dollar AS untuk di hedge (World Bank, 1998, hal. 1.4).
- Permainan
yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal sebagai hedge funds tidak
mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki
Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan
dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata
uang sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil.
Para spekulan ini juga meminjam dari sistim perbankan untuk memperbesar
pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa Bank Indonesia memutuskan untuk
tidak intervensi di pasar valas karena tidak akan ada gunanya. Meskipun
pada awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi mereka tidak bisa
disalahkan sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian dari
mereka ini justru sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli
rupiah dalam jumlah cukup besar ketika kurs masih di bawah Rp. 4.000 per
dollar AS dengan pengharapan ini adalah kurs tertinggi dan rupiah akan
balik menguat, dan pada saat itu mereka akan menukarkan kembali rupiah
dengan dollar AS.
Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara Maret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudian menyebar ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Krisis moneter yang terjadi sudah saling kait-mengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
- Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997. Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan cepat.
- Defisit neraca berjalan yang semakin membesar. disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam negeri.
- Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran diimingimingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar. Selisih tingkat suku bunga dalam negeri dengan luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif besar dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif stabil sekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai tukar Rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus mengalir ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga yang tinggi atas surat-surat berharga Indonesia. Kesalahan juga terletak pada investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan resiko. Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah.
- IMF juga tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Singapura yang menjanjikan l.k. US$ 5 milyar meminta pembayaran bunga yang lebih tinggi dari pinjaman IMF, sementara Brunei Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1 milyar baru akan mencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji akan membantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri dinilai banyak pihak telah gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah telah mempertajam dan memperpanjang krisis.
- Spekulan domestik ikut bermain (Wessel et al., hal. 22). Para spekulan inipun tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
- Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana serbuan terhadap dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya ke luar negeri mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri. Sejak awal Desember 1997 hingga awal Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri karena ketidak stabilan politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu.
Kerusahan besar-besaran pada pertengahan Mei
yang lalu yang ditujukan terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan
masyarakat ini akan keamanan harta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka
menguasai sebagian besar modal dan kegiatan ekonomi di Indonesia dengan akibat
mereka membawa keluar harta kekayaan mereka dan untuk sementara tidak melaukan
investasi baru.
- Terdapatnya keterkaitan yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar AS. Setelah Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar AS dan juga mata uang negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen Jepang, karena mata uang negaranegara Asia ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing negara-negara Asia Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan relokasi dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs dollar AS berbalik menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam dollar AS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan.
Di lain pihak harus diakui bahwa
sektor riil sudah lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun kelemahan ini
meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun masih bisa ditampung oleh
masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan perekonomian
Indonesia seperti sekarang ini.
Timbulnya krisis berkaitan dengan
jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor
ekonomi luar negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri,
meskipun kelemahan sektor riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap
melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi sektor riil saja, tidak memecahkan
permasalahan.
Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara
kebutuhan akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia,
yang menyebabkan nilai dollar AS melambung dan tidak terbendung. Sebab itu
tindakan yang harus segera didahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini
adalah:
1. pemecahan masalah utang swasta luar
negeri.
2. membenahi kinerja perbankan nasional
3. mengembalikan kepercayaan masyarakat
dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia.
4. menstabilkan nilai tukar rupiah pada
tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah
5. mengembalikan stabilitas sosial dan
politik.
- Program Reformasi Ekonomi IMF
Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional
yang bertanggungjawab dalam mengatur sistem finansial global dan menyediakan
pinjaman kepada negara anggotanya untuk membantu masalah-masalah keseimbangan
neraca keuangan masing-masing negara. Salah satu misinya adalah membantu
negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi yang serius, dan sebagai
imbalannya, negara tersebut diwajibkan melakukan kebijakan-kebijakan tertentu,
misalnya privatisasi badan usaha milik negara.
Dari negara-negara anggota PBB, yang tidak menjadi anggota IMF adalah Korea Utara, Kuba, Liechtenstein, Andorra, Monako, Tuvalu dan Nauru.
Dari negara-negara anggota PBB, yang tidak menjadi anggota IMF adalah Korea Utara, Kuba, Liechtenstein, Andorra, Monako, Tuvalu dan Nauru.
Menurut IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia
disebabkan karena pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah
sangat terdepresiasi. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah
mengembalikan kepercayaan pada mata uang, yaitu dengan membuat mata uang itu
sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah
restrukturisasi sektor finansial. Sementara itu pemerintah Indonesia telah enam
kali memperbaharui persetujuannya dengan IMF, Second Supplementary Memorandum
of Economic and Financial Policies (MEFP) tanggal 24 Juni, kemudian 29 Juli
1998, dan yang terakhir adalah review yang keempat, tanggal 16 Maret
1999.
Program bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada
tanggal 31 Oktober 1997. Program reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini
mencakup empat bidang:
- Penyehatan sektor keuangan;
- Kebijakan fiskal;
- Kebijakan moneter;
- Penyesuaian struktural.
Untuk menunjang program ini, IMF akan
mengalokasikan stand-by credit sekitar US$ 11,3 milyar selama tiga hingga lima
tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar dicairkan segera, jumlah yang sama
disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannya telah dijalankan
sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai kemajuan
dalam pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut, Indonesia
sendiri mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa dimanfaatkan.
Di samping dana bantuan IMF, Bank
Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negaranegara sahabat juga menjanjikan
pemberian bantuan yang nilai totalnya mencapai lebih kurang US$ 37 milyar.
Namun bantuan dari pihak lain ini dikaitkan dengan kesungguhan pemerintah
Indonesia melaksanakan program-program yang diprasyaratkan IMF.
Karena dalam beberapa hal program-program yang diprasyaratkan
IMF oleh pihak Indonesia dirasakan berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka
dilakukanlah negosiasi kedua yang menghasilkan persetujuan mengenai reformasi
ekonomi (letter of intent) yang ditanda-tangani pada tanggal 15 Januari 1998,
yang mengandung 50 butir. Saransaran IMF diharapkan akan mengembalikan
kepercayaan masyarakat dengan cepat dan kurs nilai tukar rupiah bisa menjadi
stabil.
Pokok - pokok dari program IMF adalah
sebagai berikut:
A. Kebijakan makro-ekonomi
A. Kebijakan makro-ekonomi
- Kebijakan fiskal
- Kebijakan moneter dan nilai tukar
B. Restrukturisasi sektor keuangan
- Program restrukturisasi bank
- Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
C. Reformasi struktural
- Perdagangan luar negeri dan investasi
- Deregulasi dan swastanisasi
- Social safety net
- Lingkungan hidup.
Setelah pelaksanaan reformasi kedua ini
kembali menghadapi berbagai hambatan, maka diadakanlah negosiasi ulang yang
menghasilkan supplementary memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri
atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Cakupan memorandum ini lebih luas
dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk adalah
penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan
masing-masing program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan struktural.
Strategi yang akan
dilaksanakan adalah:
- menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia;
- memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;
- memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing;
- menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;
- kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bisa bangkit kembali.
Tujuh(7) appendix adalah :
- Kebijakan moneter dan suku bunga
- Pembangunan sektor perbankan
- Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah
- Reformasi BUMN dan swastanisasi
- Reformasi struktural
- Restrukturisasi utang swasta
- Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis.
Prioritas utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi
sektor perbankan. Pemerintah akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi
perusahaan kecilmenengah dan koperasi dengan tambahan dana dari anggaran
pemerintah.
Awal Mei 1998 telah
dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan jumlah yang sama akan
dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli, bila
pemerintah dengan konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu Menko
Ekuin/ Kepala Bappenas menegaskan bahwa “Dana IMF dan sebagainya memang tidak
kita gunakan untuk intervensi, tetapi untuk mendukung neraca pembayaran serta
memberi rasa aman, rasa tenteram, dan rasa kepercayaan terhadap perekonomian
bahwa kita memiliki cukup devisa untuk mengimpor dan memenuhi
kewajiban-kewajiban luar negeri” (Kompas, 6 Mei 1998). Pencairan berikutnya
sebesar US$ 1 milyar yang dijadwalkan awal bulan Juni baru akan terlaksana awal
bulan September ini.
- Kritikan - kritikan Terhadap IMF
1) program IMF terlalu seragam, padahal
masalah yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama.
2) program IMF terlalu banyak mencampuri
kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998).
Radelet dan Sachs secara gamblang mengatakan bahwa
bantuan IMF kepada tiga negara Asia (Thailand, Korea dan Indonesia) telah
gagal. Setelah melihat program penyelematan IMF di ketiga negara tersebut,
timbul kesan yang kuat bahwa IMF sesungguhnya tidak menguasai permasalahan dari
timbulnya krisis, sehingga tidak bisa keluar dengan program penyelamatan yang
tepat. Salah satu pemecahan standar IMF adalah menuntut adanya surplus dalam
anggaran belanja negara, padahal dalam hal Indonesia anggaran belanja negara
sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus, meskipun surplus
ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi pemerintah. Adalah kebijakan dari
Orde Baru untuk menjaga keseimbangan dalam anggaran belanja negara, dan prinsip
ini terus dipegang. Selama ini tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran
untuk menutup anggaran belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat
inflasi yang melebihi 10%. Memang dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999
terdapat defisit anggaran yang besar, namun ini bukan disebabkan karena
kebijakan deficit financing dari pemerintah, tetapi oleh karena nilai tukar
rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh nilai tukar rupiah,
semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja. Karena itu pemecahan
utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang
wajar.
J. Stiglitz, pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF yang teramat ketat
terhadap negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan berpotensi
menyebabkan resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yang
dinamakan “konsensus Washington”, yaitu negara pengutang lazimnya harus
mendapatkan restu pendanaan dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya
memperluas kesempatan ekonomi AS. (Kompas, 13 Mei 1998).
Anwar Nasution
mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknya masih
samar-samar. Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk meningkatkan
penerimaan pemerintah dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai
sasaran surplus anggaran sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan
bagaimana ingin dicapai sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan
satu-satunya adalah peningkatan ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari
IMF adalah tidak ada program yang jelas untuk meningkatkan efisiensi dan
menurunkan biaya produksi untuk mendorong ekspor non-migas.
Penasehat khusus IMF untuk Indonesia
(P.R. Narvekar) sendiri juga mengatakan
bahwa “IMF kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan keputusan. Di satu
pihak, perwakilan IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan dan
visi politik masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada
fakta konkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas
pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini,
menjadi hal yang disoroti Dewan Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya
pekan depan”. Demikianpun halnya dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998).
Sri Mulyani mengemukakan, bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidak
memperlihatkan adanya konsistensi antarinstrumen kebijaksanaan. Di satu pihak
IMF memberikan kelenturan dengan mengizinkan dipertahankannya subsidi dan
menyediakan dana untuk menciptakan jaringan keselamatan sosial, sedang di lain
pihak menganut kebijaksanaan moneter yang kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini
bisa memandulkan efektivitas kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka
stabilitas nilai tukar dan inflasi.
“Secara makro ancaman kegagalan terbesar kesepakatan ketiga ini berasal
dari kebijaksanaan moneter yang masih ambivalen, karena keharusan BI melakukan
fungsi lender of last resort bagi perbankan nasional, yang bertentangan dengan
tema pengetatan, juga ketidak sejalanan kebijaksanaan moneter dan fiskal” (Sri
Mulyani: 72).
Saran dari IMF menutup sejumlah bank yang bermasalah untuk
menyehatkan sistim perbankan Indonesia pada dasarnya adalah tepat, karena cara
pengelolaan bank yang amburadul dan tidak mengikuti peraturan, namun ada dampak
psikologisnya dari tindakan ini tidak diperhitungkan. Yaitu : Masyarakat
kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter, Bank Indonesia dan perbankan
nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakat beramai-ramai memindahkan
dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing dan pemerintah atau ditaruh di
rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas perbankan nasional yang gawat.
Pertanyaan mendasar yang harus
ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah sejauh mana IMF bersungguh-sungguh
dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia ini?
Apakah sama seperti kesungguhan Amerika Serikat ketika membantu Meksiko
bersama-sama dengan IMF dan negara-negara maju lainnya yang berhasil menggalang
sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah mencapai titik terendah
tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada tahun 1996 dapat bangkit
kembali. Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara bertahap dalam jarak
waktu yang cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan Indonesia untuk menjalankan
programnya secara ketat dan membiarkan keadaan ekonomi Indonesia terus merosot
menuju resesi yang berkepanjangan. Dengan menahan pencairan bantuan tahap kedua
dan setelah diundur, hanya dicicil US$ 1 milyar dari jumlah US$ 3 milyar,
ditambah jarak yang cukup lama antara paket bantuan pertama dan kedua,
menyulitkan pemulihan ekonomi Indonesia secara cepat, menghilangkan kepercayaan
terhadap rupiah, bahkan memperparah keadaan. Karena badan internasional lain
dan negara-negara sahabat yang menjanjikan bantuan juga menunggu signal dari
IMF, berhubung semua bantuan tambahan yang besarnya mencapai US$ 27 milyar
dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain pihak, kita juga perlu berterima
kasih kepada IMF karena dengan menunda mencairkan bantuannya, IMF sedikit
banyak mempunyai andil dalam perjuangan menggulirkan tuntutan reformasi
politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada
mundurnya Presiden Soeharto.
Saran IMF untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan
menerapkan kebijakan uang ketat, menaikkan suku bunga dan mengembalikan
kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi, dari waktu ke waktu mengadakan
intervensi terbatas di pasar valas dengan petunjuk IMF. Sayangnya tidak ada
program khusus yang secara langsung ditujukan untuk menguatkan kembali nilai
tukar rupiah, juga tidak ada Appendix untuk masalah ini. IMF tidak memecahkan
permasalahan yang utama dan yang paling mendesak secara langsung. IMF bisa saja
terlebih dahulu mengambil kebijakan memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah,
kalau mau, dengan mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan
November lalu, yang didukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian
Development Bank dan negara-negara sahabat. Dengan demikian timbulnya krisis
kepercayaan yang berkepanjangan dapat dicegah. IMF sendiri tampaknya tidak tahu
apa yang harus dilakukannya dan berputarputar pada kebijakan surplus anggaran,
uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan sektor riil yang memang perlu dan
sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan khusus dari negaranegara maju yaitu
membuka peluang investasi yang seluas-luasnya bagi mereka dengan menggunakan
kesempatan dalam kesempitan Indonesia.
Di lain pihak memang harus diakui bahwa tekanan ini perlu
untuk memastikan kesungguhan Indonesia, karena untuk beberapa tindakan memang
ada tanda-tanda kekurang sungguhan di pihak Indonesia. Tidak adanya program
dari IMF yang jelas dan berjangka pendek untuk mengembalikan nilai tukar rupiah
ke tingkat yang wajar dan menstabilkannya membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing
antara memilih program IMF atau currency board system, yang justru menjanjikan
kepastian dan kestabilan nilai tukar pada tingkat yang wajar.
Krisis ekonomi yang tengah berlangsung ini memang bukan
tanggung-jawab IMF dan tidak bisa dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan
yang paling utama dari IMF adalah bahwa IMF dalam program bantuannya tidak
mencari pemecahan terhadap masalah yang pokok dan sangat mendesak ini dan
berputar-putar pada reformasi struktural yang dampaknya jangka panjang. Bila
semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan sekaligus secara dini, maka hal ini
dengan cepat akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat dalam negeri dan
internasional. Namun bantuan dana IMF dan ketergantungan harapan pada IMF ini
di(salah)gunakan untuk menekan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan
reformasi struktural secara besar-besaran.
Reformasi struktural sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF
memang mendasar dan penting, tetapi dampak hasilnya baru bisa dirasakan dalam
jangka panjang, sementara pemecahan masalahnya sudah sangat mendesak, di mana
makin ditunda makin banyak perusahaan yang jatuh bergelimpangan. Banyak
perusahaan yang mengandalkan pasaran dalam negeri tidak bisa menjual barang
hasil produksinya karena perusahaan-perusahaan ini umumnya memiliki kandungan
impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi tidak terjangkau dengan semakin
jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar negeri swasta dan nilai tukar
rupiah yang merosot jauh dari nilai riilnya adalah masalah-masalah dasar jangka
pendek, yang lama tidak disinggung oleh IMF. Di sini timbul keragu-raguan akan
kemurnian kebijakan reformasi IMF, sehingga timbul teka-teki, apakah IMF
benar-benar tidak melihat inti permasalahannya atau berpura-pura tidak tahu?
Atau IMF mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk memaksakan
perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi duri di matanya dan bagi Bank Dunia
serta mewakili kepentingan-kepentingan asing? Tampaknya di balik anjuran
program pemulihan kegiatan ekonomi ada titipan-titipan politik dan ekonomi dari
negara-negara besar tertentu. Program reformasi IMF secara mencurigakan
mengulang kembali tuntutan-tuntutan deregulasi ekonomi yang sudah sejak
bertahun-tahun didengungkan oleh Bank Dunia dan belum sepenuhnya dilaksanakan
oleh pemerintah Indonesia (lihat World Bank, 1996, bab 2;World Bank, 1997, bab
4 dan 5).
Permintaan IMF untuk menghentikan
dengan segera perlakuan pembebasan pajak dan kemudahan kredit untuk proyek
mobil nasional dan IPTN adalah tepat, karena dalam jangka pendek proyek ini
akan mengacaukan kebijakan pemerintah di bidang fiskal, anggaran dan moneter
secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBM dan listrik yang
kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudah benar.
Subsidi listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi
silang sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif listrik
yang murah dan melalui peningkatan efisiensi, misalnya penagihan yang lebih
efektif. Namun penurunan subsidi BBM dan listrik oleh pemerintah secara drastis
dan mendadak pada tanggal 4 Mei 1998 yang lalu mempunyai dampak yang sangat
luas terhadap perekonomian rakyat kecil, meskipun kepentingan rakyat kecil
sangat diperhatikan dengan adanya jaringan keselamatan sosial. Tindakan drastis
ini sedikit-banyak telah membantu memicu terjadinya kerusuhan-kerusuhan sosial
dan politik. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah pemerintah tidak
bisa menunda kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan, menunggu keresahan
masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi dari kesepakatan dengan
IMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap dan tidak
secara mendadak. Dalam suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi
masih bisa diberikan kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh
penduduk berpenghasilan rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam
situasi sekarang hampir tidak ada peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada
tanggal 1 Oktober 1998 direncanakan subsidi akan diturunkan secara berarti.
Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik sudah diperhitungkan dan dinaikkan
dalam anggaran pemerintah (butir 20 dari Suplemen). Membengkaknya subsidi ini
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan
listrik dalam jumlah besar yang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena
merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi tindakan yang pokok adalah pertama
mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar dan dari sini baru
menghitung besarnya subsidi. Tidak bisa biaya produksi dihitung atas dasar
nilai tukar dengan dollar AS yang masih relatif tinggi lalu dibebankan kepada
konsumen, sementara pendapatan masyarakat adalah dalam rupiah yang tidak
berubah sejak sebelum terjadinya krisis moneter, kalau tidak menurun dan
banyaknya PHK. Keadaan ini tidak sebanding, kita harus melihat sebab-sebab lain
di balik kenaikan biaya produksi. Halnya akan lain, bila pendapatan masyarakat
dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga kali lipat sesuai dengan kenaikan
nilai tukar dollar AS, seperti orang asing yang tinggal di Indonesia misalnya.
Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi
penyebab dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar
valas naik sangat tinggi dan siapa yang menarik keuntungan dari krisis ini?
Janganlah rakyat banyak diminta untuk berkorban mengatasi krisis ini atau
membebankan di atas penderitaan rakyat dengan misalnya menaikkan harga BBM dan
tarif listrik.
Di antara saran-saran IMF juga ada yang mengenai perluasan
penyertaan modal asing dalam kegiatan ekonomi Indonesia yang terlalu jauh.
Modal asing sudah diberi peluang yang cukup besar untuk investasi di Indonesia
dengan diperbolehkannya kepemilikan hingga 100% baik untuk pendirian PMA, bank
asing maupun penguasaan saham dari perusahaan-perusahaan yang telah go public,
kecuali saham bank nasional yang go public. Meskipun demikian IMF masih meminta
dihapuskannya larangan membuka cabang bagi bank asing, izin investasi di bidang
perdagangan besar dan eceran, dan liberalisasai perdagangan yang jauh lebih
liberal dari komitmen resmi pemerintah di forum WTO, AFTA -dan APEC. Masalahnya
bukan sentimen nasionalisme, tetapi apa sumbangan dari keterbukaan ini terhadap
restrukturisasi ekonomi dari program IMF, stabilisasi ekonomi dan moneter, dan
apa sumbangannya terhadap pemasukan modal asing? Bukan masalah anti asing atau
sentimen nasionalisme yang sempit, tetapi apa salahnya bila pemerintah
menyisakan bidang kegiatan untuk pengusaha Indonesia, terutama yang bermodal
kecil? Apa permintaan IMF ini tidak terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF
menerima titipan pesan sponsor dari negara-negara besar yang ingin memaksakan
kepentingannya dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan.
Ikut campurnya IMF dalam penyelesaian utang swasta adalah
sangat baik, karena IMF sebagai lembaga yang disegani bisa banyak membantu
memulihkan kepercayaan kreditor luar negeri, yang akan memperlancar dan
mempercepat proses penyelesaian utang. IMF bisa bertindak sebagai perantara
yang netral dan dipercaya.
III.
PENUTUP
Jadi, masalah krisis moneter di
Indonesia berdampak pada semua aspek, baik dalam ekonomi ataupun yang lainnya.
Terutama pada masyarakat menengah ke bawah yang sangat merasa kesulitan dalam
masalah ekonomi.
berbagai cara pemerintah dalam
mengatasi masalah tersebut yang terjadi pada tahun 1997 agar tidak
berkepanjangan ke masa yang akan datang, dan pada akhirnya tidak ada krismon
hingga sekarang ini. Itu pun adanya campur tangan IMF dalam mengatasi krisis
moneter di Indonesia pada waktu itu. Sehingga krisis moneter dapat diatasi.
IV.
Daftar Pustaka
Bank Indonesia.1998 " financial crisis in Indonesia ", Jakarta
Website Bank Indonesia
Fischer,s 1998 " IMF dan Krisis Asia " kompas, Jakarta