Nama : Nurul Anwar
Npm : 25212526
Kelas : 4EB20
Isu
adalah masalah pokok yang berkembang di masyarakat atau suatu lingkungan yang
belum tentu benar, serta membutuhkan pembuktian. Isu adalah topic yang
menarik untuk didiskusikan dan sesuatu yang memungkinkan orang untuk
mengemukakan pendapat yang bervariasi. Isu muncul dikarenakan adanya
perbedaan nilai. Etik merupakan bagian dari filosofi yang berhubungan erat
dengan nilai manusia dalm menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah
dan apakah pernyataan itu baik atau buruk. Moral adalah keyakinan individu
bahwa sesuatu adalah mutlak baik, atau buruk walaupun situasi
berbeda. Teori moral mencoba menformulasikan suatu prosedur dan mekanisme
untuk pemecahan masalah etik. Issue moral (etik) adalah topik yang penting
berhubungan dengan benar dan salah dalam kehidupan sehari – hari, begitu juga
dal dunia bisnis dan profesi.
Didalam
bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan
tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau
sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah
menjadi binatang ekonomi.
Terjadinya
perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan
tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark-up, ingkar
janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber
daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh
pengabdian para pengusaha terhadap etika bisnis. Secara sederhana etika
bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat karena
bukan hukum.
Isu etika yang signifikan dengan
dunia bisnis dan profesi, diantaranya :
Benturan
kepentingan
Benturan
kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis perusahaan dengan
kepentingan ekonomis pribadi Direktur, Komisaris atau pemegang saham utama di
suatu perusahaan. Benturan kepentingan ini dapat dikategorikan menjadi 8 jenis
situasi sebagai berikut:
1. Segala konsultasi atau hubungan lain
yang signifikan atau berkeinginan mengambil andil di dalam aktivitas pemasok,
pelanggan atau pesaing (competitor).
2. Segala kepentingan pribadi yang
berhubungan dengan kepentingan perusahaan. Segala hubungan bisnis atas nama
perusahaan dengan personal yang masih ada hubungan keluarga ( family )
dengan perusahaan yang dikontrol oleh personal tersebut.
3. Segala posisi dimana karyawan dan
pimpinan perusahaan mempunyai pengaruh ( control ) terhadap evaluasi hasil
pekerjaan atau kompensasi dari personal yang masih ada hubungan keluarga.
4. Segala penggunaan pribadi maupun
berbagai informasi rahasia perusahaan demi suatu kepentingan pribadi, seperti
anjuran untuk membeli atau menjual barang atau produk milik perusahaan yang
didasarkan atas informasi rahasia tersebut.
5. Segala penjualan atau pembelian
perusahaan yang menguntungkan pribadi. Segala penerimaan dari keuntungan
seseorang atau organisasi atau pihak ketiga yang berhubungan dengan perusahaan.
Segala aktivitas yang berkaitan dengan insider trading atas perusahaan
yang telah go public yang merugikan pihak lain.
Semua
situasi benturan kepentingan adalah kecurigaan dari segi moral, namun beberapa
diantaranya lebih serius daripada yang lain. Terdapat tiga cara untuk
membedakan benturan kepentingan, antara lain:
1. Benturan kepentingan aktual dan
potensial
Aktual di sini apabila kepentinan
pribadi menyebabkan seseorang bertindak bertentangan denan pihak lain yang
seharusnya dipenuhi opeh orang tersebut. Potensial apabila terdapat kemungkinan
bahwa seseorang akan tidak mampu memenuhi kewajiban untuk berttindak memenuhi
kepentingan pihak lain, sekalipun orang tersebut belum melakukannya.
2. Benturan kepentingan pribadi dan
non-pribadi
Jika seorang akuntan yang kepentingan
pribadinya berbenturan dengan kepentingan klien disebut benturan kepentingan
pribadi, sedangkan saat seorang akuntan memberikan jasanya, maka disbut
benturan kepentingan non-pribadi
3. Benturan kepentingan individu dan
organisasi
Dalam hubungan keagenan, lazimnya
adalah seorang yang bertindak demi kepentingan prinsipal. Prinsipal ini bisa
individu atau organisasi. Akan tetapi, organisasi juga dapat bertindak sebagai
agen dan karenanya jua bisa merupakan pihak yang kepentingannya berbenturan.
Bentuk-bentuk dari Benturan
Kepentingan yaitu;
Ø Pertimbangan yang bias
Benturan
ini biasanya berupa pertimbangan akuntan yang mementingkan kepentingan
pribadinya sehingga mengabaikan kepentingan klien.
Ø Kompetisi langsung
Ini dapat
berupa benturan dalam pekerjaan seorang pegawai dengan perusahaannya di mana
sama-sama memiliki kepentingan
Ø Penyalahgunaan kedudukan/posisi
Biasanya
dengan kedudukan benturan yang terjadi berupa nepotisme atau mengedepankan
keluarga dengan jabatannya daripada seseorang yang mungkin lebih ahli yang
bukan keluarganya.
Ø Pelanggaran kerahasiaan
Pelanggaran
ini biasanya untuk mendapatkan kepentingan pribadinya dengan mengungkapkan
rahasia yang merugikan pihak lain.
Benturan
yang terjadi pada Akuntan profesional yaitu kepentingan atau hubungan yang
membuat pertimbangan-pertimbangan seorang akuntan dapat goyah, sehingga seorang
akuntan harus tetap menjag integritas, objektivitas dan independensi nya
terhadap setiap kepentinan dan hubungan.
Jenis-jenis Benturan Kepentingan
bagi Akuntan Profesional :
1.
Kepentingan
pribadi seorang akuntan berbenturan dengan kepentingan stakeholder atau orang
lain.
2.
Kepentingan
pribadi akuntan dan beberapa stakeholder berenturan dengan stakeholder lainnya.
3.
Kepentingan
satu klien diutamakan daripada kepentingan klien lainnya.
4.
Kepentingan
satu atau beberapa stakeholder berbenturan dengan satu atau beberapa
stakeholder lainnya
Etika dalam tempat kerja
Kemerosotan
nilai dalam dunia kerja juga diakui oleh ahli filsafat Franz Magnis Suseno,
bahwa etika dalam tempat kerja mulai tergeser oleh kepentingan pencapaian
keuntungan secepat-cepatnya. Eika sudah tidak ada lagi dan kegiatanekonomi
hanya dimaknakan sebagai usaha mencari uang dengan cepat. Akibatnya, perusahaan
memberlakukan karyawan dengan buruk dan tidak menghormati setiap pribadi. Etika
dalam profesionalisme bisnis. Ada dua hal yang terkandung dalam etika bisnis
yaitu kepercayaan dan tanggung jawab. Kepercayaan diterjemahkan kepada
bagaimana mengembalikan kejujuran dalam dunia kerja dan menolak stigma lama bahwa
kepintaran berbisnis diukur dari kelihaian memperdayasaingan. Sedangkan
tanggung jawab diarahkan atas mutu output sehingga insan bisnis jangan puas
hanya terhadap kualitas kerja yang asal-asalan.
Dalam
pandangan rasional tentang perusahaan, kewajiban moral utama pegawai adalah
untuk bekerja mencapai tujuan perusahaan dan menghindari kegiatan-kegiatan yang
mungkin mengancam tujuan tersebut. Jadi, bersikap tidak etis berarti menyimpang
dari tujuan-tujuan tersebut dan berusaha meraih kepentingan sendiri dalam
cara-cara yang jika melanggar hukum dapat dinyatakan sebagai salah satu bentuk
“kejahatan kerah putih”.
Adapun
beberapa praktik di dalam suatu pekerjaan yang dilandasi dengan etika dengan
berinteraksi di dalam suatu perusahaan, misalnya:
1. Etika Terhadap Saingan
Kadang-kadang ada produsen berbuat kurang
etis terhadap saingan dengan menyebarkan rumor, bahwa produk saingan kurang
bermutu atau juga terjadi produk saingan dirusak dan dijual kembali ke pasar,
sehingga menimbulkan citra negatifdari pihak konsumen.
2. Etika Hubungan dengan Karyawan
Di dalam perusahaan ada aturan-aturan dan
batas-batas etika yang mengatur hubungan atasan dan bawahan, Atasan harus ramah
dan menghormati hak-hak bawahan, Karyawan diberi kesempatan naik pangkat, dan
memperoleh penghargaan.
3. Etika dalam hubungan dengan public
Hubungan dengan publik harus di jaga sebaik
mungkin, agar selalu terpelihara hubungan harmonis. Hubungan dengan public ini
menyangkut pemeliharaan ekologi, lingkungan hidup
Aktivitas
bisnis internasional – masalah budaya
Seorang
pemimpin memiliki peranan penting dalam membentuk budaya perusahaan. Hal itu
bukanlah sesuatu yang kabur dan hambar, melainkan sebuah gambaran jelas dan
konkrit. Jadi, budaya itu adalah tingkah laku, yaitu cara individu bertingkah
laku dalam mereka melakukan sesuatu.
Tidaklah
mengherankan, bila sama-sama kita telaah kebanyakan perusahaan sekarang ini.
Para pemimpin yang bergelimang dengan fasilitas dan berbagai kondisi kemudahan.
Giliran situasinya dibalik dengan perjuangan dan persaingan, mereka mengeluh
dan malah sering mengumpat bahwa itu semua karena SDM kita yang tidak kompeten
dan tidak mampu. Mereka sendirilah yang membentuk budaya itu (masalah budaya).
Semua karena percontohan, penularan dan panutan dari masing-masing pemimpin.
Maka timbul paradigma, mengubah budaya perusahaan itu sendiri.
Budaya
perusahaan memberi kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan perilaku
etis, karena budaya perusahaan merupakan seperangkat nilai dan norma yang
membimbing tindakan karyawan. Budaya dapat mendorong terciptanya prilaku. Dan
sebaliknya dapat pula mendorong terciptanya prilaku yang tidak etis.
Akuntabilitas
Sosial
Akuntabilitas
sosial merupakan proses keterlibatan yang konstruktif antara warga negara
dengan pemerintah dalam memeriksa pelaku dan kinerja pejabat publik, politisi
dan penyelenggara pemerintah.
Tujuan Akuntanbilitas Sosial, antara
lain :
Ø Untuk mengukur dan mengungkapkan
dengan tepat seluruh biaya dan manfaat bagi masyarakat yang ditimbulkan oleh
aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan produksi suatu perusahaan
Ø Untuk mengukur dan melaporkan
pengaruh kegiatan perusahaan terhadap lingkungannya, mencakup : financial dan
managerial social accounting, social auditing.
Ø Untuk menginternalisir biaya sosial
dan manfaat sosial agar dapat menentukan suatu hasil yang lebih relevan dan
sempurna yang merupakan keuntungan sosial suatu perusahaan.
Salah
satu alasan utama kemajuan akuntabilitas sosial menjadi lambat yaitu kesulitan
dalam pengukuran kontribusi dan kerugian. Prosesnya terdiri dari atas tiga
langkah, diantaranya:
a. Menentukan biaya dan manfaat social
Sistem
nilai masyarakat merupakan faktor penting dari manfaat dan biaya sosial.
Masalah nilai diasumsikan dapat diatasi dengan menggunakan beberapa jenis
standar masyarakat dan mengidentifikasikan kontribusi dan kerugian secara
spesifik.
b. Kuantifikasi terhadap biaya dan
manfaat saat aktivitas yang menimbulkan biaya dan manfaat
sosial ditentukan dan kerugian serta kontribusi
c. Menempatkan nilai moneter pada
jumlah akhir.
Tanggung
Jawab Sosial Bisnis dunia bisnis hidup ditengah-tengah masyarakat, kehidupannya
tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu ada suatu
tanggungjawab social yang dipikul oleh bisnis. Banyak kritik dilancarkan oleh
masyarakat terhadap bisnis yang kurang memperhatikan lingkungan.
Manajemen Krisis
Krisis
merupakan suatu kejadian besar dan tidak terduga yang memiliki potensi untuk
berdampak negatif maupun positif. Kejadian ini bisa saja menghancurkan
organisasi dan karyawan, produk, jasa, kondisi keuangan dan reputasi . Krisis
merupakan keadaan yang tidak stabil dimana perubahan yang cukup menentukan
mengancam, baik perubahan yang tidak diharapkan ataupun perubahan yang
diharapkan akan memberikan hasil yang lebih baik. Organisasi yang memikirkan
dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari suatu krisis akan berusaha untuk
mempersiapkan diri sebelum krisis tersebut terjadi. Bahkan ada peluang dimana
organisasi dapat mengubah krisis menjadi suatu kesempatan untuk memperoleh
dukungan publik
Sebab
Krisis Krisis terjadi apabila ada benturan kepentingan antara organisasi dengan
publiknya. Secara umum dapat dijelaskan bahwa penyebab krisis adalah
Sebab umum :
Ø Gangguan kesejahtraan dan rasa aman
Ø Tanggung jawab sosial diabaikan
Sebab khusus :
Ø kesalahan pengelola yang mengganggu
lapisan bawah
Ø penurunan profit yang tajam
Ø Penyelewengan
Ø perubahan permintaan pasar
Ø kegagalan/penarikan produk
Ø regulasi dan deregulasi
Ø kecelakaan atau bencana alam
Suatu
krisis menurut pendapat Steven Fink dapat dikategorikan kedalam empat level
perkembangan, yakni :
1. Tahap Prodomal
Krisis pada tahap ini sering dilupakan
orang karena perusahaan masih bisa bergerak dengan lincah. Padahal pada tahap
ini, bukan pada tahap krisis sudah kronis (meledak), krisis sudah mulai muncul.
Tahap prodromal sering disebut pula warning stage karena ia memberi sirene
tanda bahaya mengenai simtom-simtom yang harus segera diatasi.
Tahap ini
juga merupakan bagian dari turning point. Bila manajemen gagal mengartikan atau
menangkap sinyal ini, krisis akan bergeser ke tahap yang lebih serius: tahap
akut.
Contoh:
Kasus rush nasabah bank BCA tahun 1998
2. Tahap Akut
Meski bukan di sini awal mulanya krisis,
orang menganggap suatu krisis dimulai dari sini karena gejala yang samar-samar
atau sama sekali tidak jelas itu mulai kelihatan jelas.
Dalam banyak hal, krisis yang akut sering
disebut sebagai the point of no return. Artinya, sekali sinyal – sinyal yang
muncul pada tahap peringatan (prodromal) tidak digubris, ia akan masuk ke tahap
akut dan tidak bisa kembali lagi. Kerusakan sudah mulai bermunculan, reaksi
mulai berdatangan, isu menyebar luas. Namun , berapa besar kerugian lain yang
akan muncul amat tergantung dari para aktor yang mengendalikan krisis.
Salah satu kesulitan besar dalam menghadapi
krisis pada tahap akut adalah intensitas dan kecepatan serangan yang datang
dari berbagai pihak yang menyertai tahap ini. Kecepatan ditentukan leh jenis
krisis yang menimpa perusahaan, sedangkan intensitas ditentukan oleh
kompleksnya permasalahan.
3. Tahap Kronis
Organisasi masih merasakan dampak dari
krisis yang terjadi dan terkadang dampak ini bisa lebih lama dari krisis itu
sendiri.
Tahap ini disebut sebagai tahap recovery
atau self analysis. Di dalam perusahaan, tahap ini ditandai dengan perubahan
struktural. Berakhirnya tahap akut dinyatakan dengan langkah-langkah
pembersihan.
Contoh:
Kasus tumpahan minyak Kapal Exxon Valdez (1989).
4. Tahap Resolusi (Penyembuhan)
Tahap ini adalah tahap penyembuhan (pulih
kembali) dan tahap terakhir dari 4 tahap krisis. Meski bencana besar dianggap
sudah berlalu, tetap perlu berhati-hati, karena riset dalam kasus-kasus krisis
menunjukkan bahwa krisis tidak akan berhenti begitu saja pada tahap ini.
Krisis umumnya berbentuk siklus yang akan
membawa kembali pada keadaan semula (prodromal).
Contoh kasus:
“
Penggelembungan Nilai (mark up) PT. Kimia Farma Tbk ”
Penggelembungan
nilai (mark up) PT. Kimia Farma Tbk pada
tahun 2001 (Arifin, 2005). Laba bersih
dilaporkan sebesar Rp 132 miliar lebih, padahal seharusnya hanyalah
sebesar Rp 99,6 miliar. Berdasarkan hasil pemeriksaan
BAPEPAM, penggelembungan sebesar Rp 32,7 miliar tersebut berasal dari:
· overstated atas
penjualan pada Unit Industri Bahan Baku sebesar Rp 2,7 miliar,
· overstated atas
persediaan barang pada Unit Logistik Sentral sebesar Rp 23,9 miliar, dan
· overstated pada
persediaan barang sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated atas
penjualan sebesar Rp 10,7 miliar pada unit Pedagang Besar Farmasi (PBF).
Arifin
(2005) menyatakan
bahwa para akuntan adalah salah satu profesi yang terlibat secara langsung
dalam pengelolaan perusahaan (corporate governance). Dalam hubungannya
dengan prinsip good corporate governance (GCG), peran akuntan
secara signifikan terlibat dalam berbagai aktivitas penerapan prinsip-prinsipGCG. Terbongkarnya
kasus–kasus khususnya ilmu akuntansi yang terlibat dalam praktik
manajemen laba memberikan kesadaran tentang betapa pentingnya peran
dunia pendidikan dalam menciptakan sumber daya manusia yang cerdas dan
bermoral. Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa sikap dan perilaku moral
(akuntan) dapat terbentuk melalui proses pendidikan yang
terjadi dalam lembaga pendidikan akuntansi, dimana mahasiswa sebagai input, sedikit
banyaknya akan memiliki keterkaitan dengan akuntan yang dihasilkan
sebagai output.
Kasus
pelanggaran etika seharusnya tidak terjadi apabila setiap akuntan mempunyai
pengetahuan, pemahaman, dan kemauan untuk menerapkan nilai-nilai moral dan etika
secara memadai dalam pelaksanaan pekerjaan profesionalnya (Ludigdo,
1999). Oleh karena itu, terjadinya berbagai kasus sebagaimana
disebutkan di atas, seharusnya memberi kesadaran untuk lebih memperhatikan
etika dalam melaksanakan pekerjaan profesi akuntan.
Pertanyaan–pertanyaan
tentang dugaan atas pelanggaran etika profesi akuntan terhadap kepercayaan
publik telah menimbulkan campur tangan pemerintah. Ponemon dan Gabhart
(1993), memberikan argumen bahwa hilangnya kepercayaan publik
dan meningkatnya campur tangan dari pemerintah pada gilirannya
menimbulkan dan membawa kepada matinya profesi akuntan, dimana masalah etika
melekat dalam lingkungan pekerjaan para akuntan professional (Ponemon
dan Gabhart, 1993; Leung dan Cooper, 1995).
Para
akuntan profesional cenderung mengabaikan persoalan moral bilamana menemukan
masalah yang bersifat teknis (Volker,1984; Bebeau, dkk. 1985,
dalam Marwanto, 2007), artinya bahwa para akuntan profesional
cenderung berperilaku tidak bermoral apabila dihadapkan dengan suatu persoalan
akuntansi.
Disisi
lain, karakter moral berkenaan dengan personaliti, seperti kekuatan ego,
keteguhan ego, kegigihan, kekerasan hati, pemikiran dan
kekuatan akan pendirian serta keberanian yang berguna untuk melakukan tindakan
yang benar (Rest, 1986). Seorang individu yang memiliki
kemampuan dalam menentukan apa yang secara moral baik atau buruk dan benar atau
salah, mungkin bisa gagal atau salah dalam berkelakuan secara moral sebagai
hasil dari kegagalan dalam mengidentifikasi persoalan-persoalan moral(Walker,
2002). Dalam berkelakuan secara moral seorang individu
dipengaruhi oleh faktor-faktor individu yang dimilikinya.
Jones
(1991) telah
mengembangkan suatu model isu-kontinjen untuk menguji pengaruh persepsi
intensitas moral dan menghubungkannya dengan ‘model empat komponen
Rest’. Rest (1986) membangun model kognitif tentang
pengambilan keputusan (empat model komponen) untuk menguji
pengembangan proses-proses pemikiran moral dan perilaku individu (Chan
dan Leung, 2006). Rest menyatakan bahwa untuk bertindak
secara moral, seorang individu melakukan empat dasar proses psikologi, yaitu :
1. Sensitivitas
Moral (Moral Sensitivity)
2. Pertimbangan
Moral (Moral Judgment)
3. Motivasi
Moral (Moral Intentions), dan
4. Perilaku
Moral (Moral Behavior)).
Jones
(1991) mengungkapkan
bahwa isu-isu intensitas moral secara signifikan mempengaruhi proses pembuatan
keputusan moral. Penelitian sebelumnya telah menguji pengaruh komponen dari
intensitas moral terhadap sensitivitas moral (Singhapakdi dkk., 1996;
May dan Pauli, 2000), pertimbangan moral (Webber, 1990, 1999;
Morris dan McDonald, 1995; Ketchand dkk., 1999; Shafer dkk., 1999), dan
intensi moral(Singhapakdi dkk., 1996, 1999; Shafer dkk., 1999; May dan
Pauli, 2000). Dalam penelitian-penelitian tersebut, beberapa komponen
intensitas moral ditemukan berpengaruh secara signifikan dalam proses pembuatan
keputusan moral dari berbagai responden. Bagaimanapun, terdapat sedikit
penelitian yang melakukan pengujian pada berbagai karakteristik dari isu-isu
dan pengaruhnya terhadap proses pembuatan keputusan moral pada mahasiswa
akuntansi.
“ Penggelembungan Nilai (mark
up) PT. Kimia Farma Tbk ”
Penggelembungan
nilai (mark up) PT. Kimia Farma Tbk pada tahun 2001 (Arifin,
2005). Laba bersih dilaporkan sebesar Rp 132 miliar lebih,
padahal seharusnya hanyalah sebesar Rp 99,6 miliar. Berdasarkan hasil
pemeriksaan BAPEPAM, penggelembungan sebesar Rp 32,7 miliar tersebut
berasal dari:
· overstated atas penjualan pada Unit
Industri Bahan Baku sebesar Rp 2,7 miliar,
· overstated atas persediaan barang
pada Unit Logistik Sentral sebesar Rp 23,9 miliar, dan
· overstated pada persediaan barang
sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated atas penjualan sebesar Rp 10,7
miliar pada unit Pedagang Besar Farmasi (PBF).
Arifin (2005) menyatakan bahwa para akuntan adalah salah satu profesi
yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan perusahaan (corporate
governance). Dalam hubungannya dengan prinsip good corporate governance
(GCG), peran akuntan secara signifikan terlibat dalam berbagai aktivitas
penerapan prinsip-prinsip GCG. Terbongkarnya kasus–kasus khususnya ilmu
akuntansi yang terlibat dalam praktik manajemen laba memberikan
kesadaran tentang betapa pentingnya peran dunia pendidikan dalam menciptakan
sumber daya manusia yang cerdas dan bermoral. Ungkapan tersebut mengisyaratkan
bahwa sikap dan perilaku moral (akuntan) dapat terbentuk melalui
proses pendidikan yang terjadi dalam lembaga pendidikan akuntansi, dimana
mahasiswa sebagai input, sedikit banyaknya akan memiliki keterkaitan
dengan akuntan yang dihasilkan sebagai output.
Kasus pelanggaran etika seharusnya tidak terjadi apabila setiap akuntan
mempunyai pengetahuan, pemahaman, dan kemauan untuk menerapkan nilai-nilai moral
dan etika secara memadai dalam pelaksanaan pekerjaan profesionalnya (Ludigdo,
1999). Oleh karena itu, terjadinya berbagai kasus sebagaimana disebutkan di
atas, seharusnya memberi kesadaran untuk lebih memperhatikan etika dalam
melaksanakan pekerjaan profesi akuntan.
Pertanyaan–pertanyaan tentang dugaan
atas pelanggaran etika profesi akuntan terhadap kepercayaan publik telah
menimbulkan campur tangan pemerintah. Ponemon dan Gabhart (1993), memberikan
argumen bahwa hilangnya kepercayaan publik dan meningkatnya campur tangan
dari pemerintah pada gilirannya menimbulkan dan membawa kepada matinya profesi
akuntan, dimana masalah etika melekat dalam lingkungan pekerjaan para akuntan
professional (Ponemon dan Gabhart, 1993; Leung dan Cooper, 1995).
Para akuntan profesional cenderung
mengabaikan persoalan moral bilamana menemukan masalah yang bersifat teknis (Volker,1984;
Bebeau, dkk. 1985, dalam Marwanto, 2007), artinya bahwa para akuntan
profesional cenderung berperilaku tidak bermoral apabila dihadapkan dengan
suatu persoalan akuntansi.
Disisi lain, karakter moral
berkenaan dengan personaliti, seperti kekuatan ego, keteguhan ego,
kegigihan, kekerasan hati, pemikiran dan kekuatan akan
pendirian serta keberanian yang berguna untuk melakukan tindakan yang benar (Rest,
1986). Seorang individu yang memiliki kemampuan dalam menentukan apa yang
secara moral baik atau buruk dan benar atau salah, mungkin bisa gagal atau
salah dalam berkelakuan secara moral sebagai hasil dari kegagalan dalam
mengidentifikasi persoalan-persoalan moral (Walker, 2002). Dalam
berkelakuan secara moral seorang individu dipengaruhi oleh faktor-faktor
individu yang dimilikinya.
Jones (1991) telah mengembangkan suatu model
isu-kontinjen untuk menguji pengaruh persepsi intensitas moral dan
menghubungkannya dengan ‘model empat komponen Rest’. Rest (1986)
membangun model kognitif tentang pengambilan keputusan (empat model
komponen) untuk menguji pengembangan proses-proses pemikiran moral dan
perilaku individu (Chan dan Leung, 2006). Rest menyatakan bahwa
untuk bertindak secara moral, seorang individu melakukan empat dasar proses
psikologi, yaitu :
1. Sensitivitas
Moral (Moral Sensitivity)
2. Pertimbangan
Moral (Moral Judgment)
3. Motivasi Moral
(Moral Intentions), dan
4. Perilaku Moral
(Moral Behavior)).
Jones (1991) mengungkapkan bahwa isu-isu
intensitas moral secara signifikan mempengaruhi proses pembuatan keputusan
moral. Penelitian sebelumnya telah menguji pengaruh komponen dari intensitas
moral terhadap sensitivitas moral (Singhapakdi dkk., 1996; May dan Pauli,
2000), pertimbangan moral (Webber, 1990, 1999; Morris dan McDonald,
1995; Ketchand dkk., 1999; Shafer dkk., 1999), dan intensi moral (Singhapakdi
dkk., 1996, 1999; Shafer dkk., 1999; May dan Pauli, 2000). Dalam
penelitian-penelitian tersebut, beberapa komponen intensitas moral ditemukan
berpengaruh secara signifikan dalam proses pembuatan keputusan moral dari
berbagai responden. Bagaimanapun, terdapat sedikit penelitian yang melakukan
pengujian pada berbagai karakteristik dari isu-isu dan pengaruhnya terhadap
proses pembuatan keputusan moral pada mahasiswa akuntansi.
Kesimpulan Kasus :
Kasus-kasus pelanggaran terhadap
etika dalam dunia bisnis yang terjadi di Indonesia belakangan ini seharusnya
mengarahkan kebutuhan bagi lebih banyak penelitian yang meneliti mengenai
pembuatan keputusan etis. Kerasnya isu dalam hal pembuatan keputusan moral
terasa sangat penting dalam menegakkan kembali martabat dan kehormatan profesi
akuntan yang sedang dilanda krisis kepercayaan dari masyarakat luas.
Penelitian pengembangan etika
akuntan profesional seharusnya dimulai dengan penelitian mahasiswa akuntansi di
bangku kuliah, dimana mereka ditanamkan perilaku moral dan nilai-nilai etika
profesional akuntan (Jeffrey, 1993). Menurut Ponemon dan Glazer
(1990), bahwa sosialisasi etika profesi akuntan pada kenyataanya berawal
dari masa kuliah, dimana mahasiswa akuntansi sebagai calon akuntan profesional
di masa datang.
Sumber:
Mulyadi. 2002. Auditing. Jakarta: Salemba Empat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar